SuaraSulawesi.Com - Makassar - Pengacara Farid Mamma, SH., M.H, kembali mengkritik keras pihak-pihak terkait dalam kasus perampasan mobil milik Mira Santika Can.
Selain mengecam tindakan debt collector Daeng Bonto dan PT Toyota Astra Finance (TAF) yang menggunakan pihak ketiga secara ilegal,
Farid juga menyoroti pernyataan yang disampaikan oleh AKP Akhmad Marsuki, SH., MH., selaku Kanit 1 Subdit 1 Kamneg dan Briptu M. Ihsan selaku Penyidik di Polda Sulsel.
Pernyataan mereka yang dipublikasikan di media online Suara Seni pada Agustus lalu, dianggap sebagai dalih yang tidak memahami pokok perkara.
"Perkembangan kasus ini seakan jalan di tempat, dan pernyataan Polda Sulsel yang menyebutkan bahwa kasus perampasan ini dihentikan, hanyalah isapan jempol belaka.
Mereka mencoba berdalih dan jelas tidak memahami inti dari permasalahan ini," ungkap Farid. Minggu 22/09/2024
Dalam pernyataan yang dirilis, pihak kepolisian berargumen bahwa kasus ini sudah dihentikan karena dianggap bukan perampasan, melainkan penyelesaian sengketa kredit kendaraan.
Farid Mamma yang biasa akbrab di panggil Bang Farid dengan tegas membantah pernyataan tersebut. Menurutnya, yang menjadi pokok persoalan adalah tindakan perampasan dengan kekerasan yang dilakukan oleh debt collector bernama Daeng Bonto, bukan sekadar permasalahan kredit biasa.
"Yang saya maksud adalah tindakan perampasan dengan kekerasan yang dilakukan oleh Daeng Bonto.
Ibu Suci Nasabah PT.TAF Korban Perampasan Oleh Dg.Bonto DKKIni bukan sekadar urusan kredit macet. Daeng Bonto menggunakan cara-cara intimidasi dan kekerasan dalam menarik mobil di jalan tanpa penetapan ijin penyitaan dari pengadilan. Ini jelas tindak pidana perampasan, bukan masalah perdata," tegas Farid.
Farid menegaskan bahwa tindakan ini melanggar Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemerasan dan perampasan, di mana setiap tindakan mengambil barang secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dihukum pidana hingga sembilan tahun penjara.
"Pihak kepolisian harus memahami bahwa ini adalah kasus kriminal, bukan sekadar permasalahan kredit.
Ketika ada unsur kekerasan dalam penarikan kendaraan, itu sudah masuk ranah pidana perampasan, dan harus diselesaikan dengan penegakan hukum," tambahnya.
Farid juga menyinggung peran PT TAF yang menyewa tenaga debt collector seperti Daeng Bonto untuk melakukan penarikan kendaraan secara paksa.
"PT TAF, sebagai pemberi perintah, harus bertanggung jawab. Mereka menggunakan jasa hunter tanpa sepengetahuan nasabah, dan hal ini melanggar UU Fidusia serta undang-undang perampasan secara paksa. Pihak leasing tidak boleh bertindak sewenang-wenang," lanjutnya.
Farid berharap Polda Sulsel segera menindaklanjuti kasus ini dengan serius dan tidak menutup mata terhadap fakta-fakta hukum yang jelas menunjukkan pelanggaran.
Pernyataan yang dikeluarkan oleh AKP Akhmad Marsuki dan Briptu M. Ihsan seharusnya dikaji ulang, karena kasus ini bukan sekadar perdata, tapi sudah masuk ranah pidana.
Kepolisian seharusnya mendalami lebih jauh pokok perkara ini, bukan justru berdalih untuk menghentikan kasus," tutupnya.
Dengan adanya kritik ini, Farid Mamma mendesak aparat penegak hukum untuk segera bertindak tegas terhadap semua pihak yang terlibat, baik debt collector Daeng Bonto maupun PT TAF, untuk memastikan bahwa keadilan bagi Mira Santika dapat ditegakkan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Mengurai benang kusut Kreditur, Debitur & Debt Collector :
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019
Dengan keluarnya putusan ini maka, segala bentuk praktek eksekusi yang dilakukan oleh kreditur (penerima fidusia) atau pihak lain yang karena kuasa dari kreditur melakukan pemaksaan dan atau ancaman kepada debitur (pemberi fidusia) atas objek jaminan fidusia yang tidak didasarkan pada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap atau debitur secara sukarela menyerahkan objek jaminan tersebut adalah sebuah *kriminalitas* dan dinyatakan *melawan hukum.*
Liputan : ( ** )
Editor. : Agen 008 HI